Kamis, 29 Maret 2012

Kelebihan dan Kekurangan SSR (4)

Baik relay kontaktor biasa maupun solid state relay (SSR) mempunyai keuntungan dan kerugian.  Baik keuntungan maupun kerugian tersebut merupakan ‘trade-off’ yang harus dipilih bagi disainer sistem kontrol.
Pada dasarnya Solid state relay (SSR) merupakan relay yang dapat didiskripsikan sebagai berikut :
©      Mempunyai empat buah terminal, 2 input terminal dan 2 buah output terminal.
©      Tegangan input dapat berupa tegangan AC atau DC.
©      Antara output dan input diisolasi dengan sistem optikal.
©      Output menggunakan keluarga thyristor, SCR untuk beban DC dan TRIAC untuk beban AC.
©      Switching ON, yang sering disebut ‘firing’, solid state relay hanya bisa terjadi pada saat tegangan yang masuk ke output pada level yang sangat rendah mendekati nol volt.
©      Output berupa tegangan AC (50 Hz atau 60 Hz).
Sebuah solid state kontaktor adalah tugas yang sangat berat solid state relay, termasuk yang diperlukan heat sink, digunakan untuk beralih pemanas listrik, motor listrik kecil dan pencahayaan load; di mana sering on / off siklus diperlukan. Tidak ada bagian yang bergerak untuk memakai dan tidak ada kontak bouncing karena getaran. Mereka diaktifkan oleh sinyal kontrol AC atau DC sinyal kontrol dari Programmable logic controller (PLC), PC, transistor-transistor logic (TTL) sumber, atau lainnya kontrol mikroprosesor dan mikrokontroler.

Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Solid-State Relay
Penggunaan solid state relay mempunyai beberapa keuntungan  yang menyebabkan solid-state relay saat ini menarik untuk digunakan pada aplikasi-aplikasi kontrol untuk beban AC daripada digunakannya relay mekanik (Electromechanical Relay, EMR), walaupun biaya sebuah solid-state relay lebih mahal daripada biaya sebuah relay mekanik biasa.

Keuntungan solid-state relay :
1.    Pada solid-state relay tidak teedapat bagian yang bergerak seperti halnya pada relay.  Relay mempunyai sebuah bagian yang bergerak yang disebut kontaktor dan bagian ini tidak ada pada solid-state relay.  Sehingga tidak mungkin terjadi ‘no contact’ karena kontaktor tertutup debu bahkan karat.
2.    Tidak terdapat ‘bounce’, karena tidak terdapat kontaktor yang bergerak paka pada solid-state relay tidak terjadi peristiwa ‘bounce’ yaitu peristiwa terjadinya pantulan kontaktor pada saat terjadi perpindahan keadaan.  Dengan kata lain dengan tidak adanya bounce maka tidak terjadi percikan bunga api pada saat kontaktor berubah keadaan.
3.    Proses perpindahan dari kondisi ‘off’ ke kondisi ‘on’ atau sebaliknya sangat cepat hanya membutuhkan waktu sekitar 10us sehingga solid-state relay dapat dengan mudah dioperasikan bersama-sama dengan zero-crossing detektor.  Dengan kata lain opersai kerja solid-state relay dapat disinkronkan dengan kondisi zero crossing detektor.
4.     Solid-State relay kebal terhadap getaran dan goncangan.  Tidak seperti relay mekanik biasa yang kontaktornya dapat dengan mudah berubah bila terkena goncangan/getaran yang cukup kuat pada body relay tersebut.
5.     Tidak menghasilkan suara ‘klik’, seperti relay pada saat kontaktor berubah keadaan.
6.     Kontaktor output pada solid-state relay secara otomatis ‘latch’ sehingga energi yang digunakan untuk aktivasi solid-state relay lebih sedikit jika dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk aktivasi sebuah relay.  Kondisi ON sebuah solid-state relay akan di-latc sampai solid-state relay mendapatkan tegangan sangat rendah, yaitu mendekati nol volt.
7.     Solid-State relay sangat sensitif sehingga dapat dioperasikan langsung dengan menggunakan level tegangan CMOS bahkan level tegangan TTL.  Rangakain kontrolnya  menjadi sangat sederhana karena tidak memerlukan level konverter.
8.     Masih terdapat couple kapasitansi antara input dan output tetapi sangat kecil sehingga arus bocor antara input output sangat kecil.  Kondisi diperlukan pada peralatan medical yang memerlukan isolasi yang sangat baik.
Keuntungan solid-state relay begitu baik sekali tetapi dibalik keuntungan tersebut terdapat kerugian penggunaan solid-state relay yang  perlu  dipertimbangkan dalam penggunaannya.
 
Kerugian solid-state relay adalah sebagai berikut :
1.     Resistansi Tegangan transien.  Tegangan yang diatur/dikontrol oleh solid-state relay benar-benar tidak bersih.  Dengan kata lain tidak murni tegangannya berupa sinyal sinus dengan tegangan peak to peak 380 vpp tetapi terdapat spike-spike yang dihasilkan oleh induksi motor atau peralatan listrik lainnya.  Spike ini level tegangannya bervariasi jika terlalu besar maka dapat merusakkan solid-state relay tersebut.  Selain itu sumber-sumber spike yang lain adalah sambaran petir, imbas dari selenoid valve dan lain sebagainya.
2.     Tegangan drop.  Karena solid-state relay dibangun dari bahan silikon maka terdapat tegangan jatuh antara tegangan input dan tegangan output.  Tegangan jatuh tersebut kira-kira sebesar 1 volt.  Tegangan jatuh ini menyebabkan adanya dissipasi daya yang besarnya tergantung dari besarnya arus yang lewat pada solid-state relay ini.
3.     Arus bocor-‘Leakage current’.  Pada saat solid-state relay ini dalam keadaan off atau keadaan open maka dalam kondisi yang idel seharusnya tidak ada arus yang mengalir  melewati solid-state relay tetapi tidak demikian pada komponen yang sebenarnya.  Besarnya arus bocor cukup besar untuk jika dibandingkan arus pada level TTL yaitu sekitar 10mA rms.
4.      Sukar dimplementasikan pada aplikasi multi fasa.
5.      Lebih mudah rusak jika terkena radiasi nuklir.

Pada solid-state ralay, switching unit-nya biasanya menggunakan TRIAC sehingga solid-state relay ini dapat mengalirkan arus baik arus positif maupun arus negatif.  Walaupun demikian untuk mengontrol TRIAC ini digunakan SCR yang mempunyai karakteristik gate yang sangat sensitif.  Kemudian untuk mengatur trigger pada SCR sendiri diatur dengan menggunakan rangkaian transistor.  Rangkaian transistor ini menjadi penguat level tegangan yang didapat dari optocoupler.  Penggunaan SCR untuk mengatur gate TRIAC karena gate SCR mempunyai karakteristik yang lebih sensitif daripada gate TRIAC.
Antara bagian input dan output dipisahkan dengan menggunakan optocoupler dan dengan sinyal yang kecil, cukup untu menyalakan diode saja, maka cukup untuk menggerakkan sebuah bebab AC yang besar melalui solid-state relay.
    
Rangkaian kontrol merupakan rangkaian kontrol biasa, seperti pada umumnya.  Fungsi logika AND, pada blok diagram rangkaian internal SSR, dibangun dari dua buah transistor Q1 dan Q2 yang bekerja untuk menghasilkan logika inverted NOR. Q1 akan melakukan ‘clamps’ jika optocoupler OC1 dalam keadaan off.  Q2 akan melakukan ‘clamps’ jika tegangan bagi antara R4 dan R5 cukup untuk mengaktifkan transistor Q2.  Sehingga Q2 akan melakukan clamp pada SCR jika tegangan anode SCR lebih dari 5 volt.
Jika OC1 ‘ON’ maka Q1 akan OFF sehingga Q1 tidak melakukan clamp pada SCR.  SCR akan aktif jika Q2 juga dalam kondisi OFF.  Kondisi ini terjadi pada saat terjadinya zero crossing.  Penambahan kapasitor C2 bertujuan untuk menghindari kemungkinan SCR di trigger berulang-ulang.  C1 berguna untuk menyediakan arus yang cukup untuk sumber tegangan sementara pada saat terjadinya ‘firing’ pada gate SCR, selain itu C1 juga berfungsi untuk menghindari kondisi ditriggernya gate SCR berulang-ulang.
Penambahan C1 dan C2 akan menghindari trigger SCR pada saat tegangan anode SCR turun (down slope), kondisi ini memang tidak diharapkan.   Komponen D2 akan memperbolehkan gate SCR di-reverse bias untuk  menghasilkan kekebalan terhadap noise.  D1 berfungsi untuk melindungi tegangan input yang berlebihan di atas rating tegangan optocoupler OC1.  Komponen SCR yang digunakan, jika ingin membangun sebuah SSR sendiri, adalah SCR dengan tipe 2N5064, 2N6240.
TRIAC yang digunakan adalah 2N6343 dengan C11 sebesar 47nF dengan tegangan disesuaikan dengan rating tegangan aplikasi TRIAC dan diode yang mentrigger gate TRIAC ini harus 1N4004.
TRIAC merupakan komponen yang terdiri dari 2 buah SCR yang terpasang paralel tetapi terbalik.  Kondisi ini menyebabkan timbulnya masalah pada beban induktif yaitu pada saat kondisi turn-off TRIAC.  TRIAC harus mati pada saat setiap ½ cycle yaitu pada saat tegangan jala-jala PLN mendekati nol volt.  TRIAC harus melakukan bloking tegangan pada saat tegangan mulai mencapai 1-2 volt dalam keadaan tegangan inverse.  Kejadian ini terjadi sekitar 30us pada rate frekuensi jala-jala 60Hz.  Pada beban induktif TRIAC tidak sempat dalam kondisi benar-benar OFF untuk dapat ditrigger kembali.  Kejadian ini akan menyebabkan TRIAC pada beban induktif tertentu akan menyebabkan TRAIC tidak dapat OFF dan kontrol tidak akan berfungsi untuk mengontrol TRIAC ini kecuali dengan jalan memutuskan aliran arus yang menuju terminal TRAIC ini secara manual. 
Untuk menghindari kejadian seperti ini maka output sebuah solid-state relay harus ditambahkan sebuah rangkaian snubber jika solid-state relay ini digunakan untuk beban yang bersifat induktif.
Walaupun demikian dapat digunakan solid-state relay yang komponen output unitnya berupa SCR.  SCR lebih mudah digunakan dalam mengontrol beban induktif, walaupun demikian untuk amannya sebuah sistem kontrol maka perlulah dipertimbangkan untuk diberikannya sebuah rangkaian snubber pula untuk beban induktif.
Walaupun solid-state relay dengan SCR maupun TRAIC- nya yang membuat perlunya sedikit pertimbangan  dalam pemberian rangkaian snubber pada beban induktif, solid-state relay secara umum lebih baik pada penggunaanya terutama untuk aplikasi yang membutuhkan isolasi antara input dan output yang baik.  Memang harga bolehlah mahal tetapi untuk kualitas yang baik maka komponen ini bisa menjadi sebuah alternatif untuk menggantikan sebuah relay mekanik pada aplikasi-aplikasi tertentu.

FINISH.............. 

Musik

Tevisi

Widget TV Online Mivo TV Online